Saya paling demen baca buku. Dari Serial Lupus sampai karya berat macam Madilog kesemuanya saya baca. Akan tetapi, bertambahnya umur berbanding lurus dengan kesibukan. Dulu waktu bocah, kerjaan saya cuman sekolah dan main. Beranjak sekolah menengah sampai kuliah, saya makin sibuk dan nggak ada waktu buat baca novel, karya non-fiksi, dan semacamnya.
Dasar manusia, sudah tahu waktu baca buku makin nipis, saya tetap khilaf buat beli. Alhasil, banyak buku yang belum kebaca dan menumpuk di rak. Miris saya lihatnya. Dan terkadang, kekhilafan itu berakhir pada sebuah peristiwa, seperti:
"Kamu baca bukunya Eka Kurniawan juga, ya? Eh, novel karyanya yang ini ceritanya tentang apa?" tanya seorang teman. Buku berjudul satu huruf O dia genggam, dia tunjukkan pada saya.
Saya yang belum baca bukunya, cuma diam sambil mikir. "Tentang anak pesantren yang berhasil kuliah di Perancis."
Beda cerita.
Kelakuan orang yang gemar beli buku, namum membiarkannya tidak terbaca dan akhirnya menumpuk, tsundoku (積ん読) namanya.
Banyak banget kasus tsundoku, contohnya saja Pak Frank Rose, pria asal Amerika Serikat yang punya koleksi lebih dari 13000 buku yang belum pernah dia baca. Pada akhirnya, buku-buku tersebut ia sumbangkan.
Jadi, tiap berangkat ngampus, malmingan, jalan-jalan, saya selalu menghindar dari jalan yang ada toko bukunya. Kalau sudah terlanjur, ya saya buang muka. Pura-pura enggak lihat supaya nggak khilaf. Selain itu, saya punya target untuk menyelesaikan buku-buku yang kadung dibeli. Secepatnya.
0 Comments